Kamis, November 12, 2009

Air Irigasi Sebagai Insentif Usaha Tani

Oleh: Khudori

Berkaitan dengan pertanian, manajemen air itu terkait dengan pengelolaan daerah aliran sungai dan penyediaan infrastruktur irigasi yang akan memasok air ke sawah-sawah.

Kekeringan sebagai fenomena alam yang alamiah merupakan siklus yang selalu berulang setiap tahun. Sayangnya, dampaknya pada dunia pertanian semakin lama semakin memprihatinkan. Sebelum puncak kemarau, September-Oktober, kini di sejumlah daerah, terutama di sentra-sentra produksi pertanian, dilaporkan sejumlah sungai yang jadi pemasok vital air irigasi menyusut debitnya. Para petani yang telanjur menanam pasti menjerit karena komoditas yang diusahakannya akan puso. Mereka tidak berdaya menghadapi ganasnya kemarau, fenomena alam yang di luar kendali mereka.

Padahal, sebagai negara tropis yang bercurah hujan tinggi dan dengan hutan hujan tropisnya yang luasnya puluhan juta hektare, mestinya pertanian Indonesia tak akan pernah kekurangan air. Itu terjadi asalkan kita memiliki manajemen air yang baik. Berkaitan dengan pertanian, manajemen air itu terkait dengan pengelolaan daerah aliran sungai dan penyediaan infrastruktur irigasi yang akan memasok air ke sawah-sawah.

Kekurangan air di musim kemarau yang berdampak pada kekeringan merupakan problem manajemen yang kompleks, melibatkan banyak stakeholder, dan membutuhkan tindakan individual atau kolektif terpadu untuk mengamankan suplai air. Kompleksitas bertambah karena kita mengetahui kekeringan merupakan bencana yang prosesnya berjalan lambat, sehingga sering disebut sebagai bencana merangkak. Tidak seperti banjir yang datangnya tiba-tiba dan nilai kerugiannya biasanya segera bisa diketahui.

Kekeringan timbul perlahan-lahan sehingga mudah/sering diabaikan. Kita tidak bisa mengetahui pasti kapan bencana ini berawal dan kapan akan berakhir. Kita baru sadar setelah berada pada periode tengahnya. Padahal nilai kerugiannya tak kalah dibandingkan dengan banjir. Untuk dunia pertanian, kekeringan merupakan bencana terparah dibanding bencana lain. Bila kebanjiran, tanaman masih bisa hidup dan kekurangan pupuk masih bisa diupayakan. Namun, ketika air tidak ada, tanaman segera layu, kering, dan mati. Akhirnya, pupus dan sia-sialah segala pengorbanan (harta, benda, tenaga, dan lain-lain) petani.

Bagi dunia pertanian, air merupakan kebutuhan mutlak. Kehadirannya tidak bisa digantikan. Sifat ini berbeda dengan kebutuhan sumber daya/sarana produksi pertanian lain. Tanah misalnya. Untuk bercocok tanam, petani memerlukan tanah. Tapi, dalam pertanian modern, kehadiran tanah tidaklah mutlak. Meskipun tanpa lahan, petani tetap bisa menghasilkan sayur-sayuran yang berkualitas karena menanam di air (hidroponik). Soal modal, meskipun tanpa kucuran kredit usaha tani, petani tetap bisa berusaha tani. Mereka masih punya alternatif berutang atau mengambil kredit ke rentenir. Namun, soal air, bukan saja fungsinya tidak tergantikan, kehadirannya pun tidak bisa ditunda-tunda.

Inilah fungsi strategis air bagi dunia pertanian. Masalahnya, arti penting kehadiran air bagi dunia pertanian sering kali kurang mendapatkan perhatian, tidak hanya dari petani, tapi juga dari pemerintah. Sejauh ini, untuk menggairahkan petani dalam berusaha tani, pemerintah selalu mengandalkan pendekatan harga dan produksi. Padahal instrumen harga dan produksi tidak akan berarti apa-apa jika tidak tersedia air untuk usaha tani. Maka cara pandang yang sempit terhadap air semacam itu tidak bisa dipertahankan lagi. Air bagi petani merupakan insentif utama untuk terus menekuni usaha taninya. Tanpa air yang memadai, jangan berharap petani mau berusaha tani.

Mengapa tiap musim kemarau kekeringan kian mengerikan? Marilah kita tengok realitas daerah aliran sungai (DAS) dan infrastruktur irigasi saat ini. Jumlah penduduk yang terkonsentrasi dan semakin besar menumpuk di Pulau Jawa mengakibatkan tekanan terhadap lingkungan berlangsung begitu tinggi dan intens. Degradasi lingkungan akibat kompetisi penggunaan lahan yang berlebihan di Pulau Jawa sudah kita rasakan. Salah satunya dampak ketersediaan air yang makin terbatas, terutama untuk pertanian. Hasil kajian yang dibuat pada 2001 (Syafa'at, 2002) menunjukkan ada tiga DAS yang diperkirakan telah mengalami defisit penggunaan air (kebutuhan lebih tinggi daripada ketersediaan).

Ketiga DAS yang defisit tersebut adalah DAS Cisadane-Ciliwung (3.406 vs 4.471 juta m3/th), DAS Citarum Hilir (6.619 vs 7.670 juta m3/th), dan DAS Brantas Hilir (4.637 vs 4.788 juta m3/th). Selain itu, kajian di atas menunjukkan, dari 28 DAS yang ada di Pulau Jawa, tiga DAS sudah pada tingkat kekritisan yang sangat tinggi, delapan DAS tingkat kekritisannya tinggi, tiga DAS tingkat kekritisannya sedang, tujuh DAS tingkat kekritisannya rendah, dan cuma tiga DAS yang masih tergolong aman.

Ciri utama DAS kritis adalah kadar sedimen tinggi, perbedaan debit maksimum-minimum amat tinggi, dan waktu aliran mencapai puncak banjir sangat cepat. Sebaliknya, ketika aliran banjir melemah, terjadi penyusutan dalam waktu yang juga sangat cepat. Krisis ketersediaan air saat ini sudah dirasakan di daerah pantai utara Jawa. Melihat realitas di atas, upaya peningkatan produksi padi di Pulau Jawa menjadi tidak mudah. Padi merupakan salah satu jenis tanaman yang membutuhkan air sangat besar. Hasil penelitian yang pernah dilakukan menyebutkan, untuk menghasilkan satu kilogram padi, dibutuhkan 1.900-5.000 liter air. Padahal, untuk jenis tanaman lain seperti kentang, gandum, dan jagung, masing-masing hanya butuh 500-1.500, 900-2.000 dan 1.000-1.800 liter.

Peningkatan produktivitas padi semakin sulit dilakukan karena infrastruktur irigasi yang menjamin pasokan air dari hulu ke hilir atau dari DAS ke petak-petak sawah tidak kalah buruknya. Sistem irigasi secara nasional sebenarnya bisa mengairi total lahan pertanian (sawah) seluas 7.392.168 hektare, yang terdiri atas irigasi teknis 3.369.728 ha, irigasi setengah teknis 1.054.978 ha, irigasi sederhana 804.673 ha, dan irigasi desa 2.162.789 ha. Namun, 2.936.382 hektare atau 39,7 persen saat ini potensinya tidak optimal karena saluran irigasinya rusak, yang terdiri atas 2.247.837 ha rusak ringan dan 688.545 ha sisanya rusak berat atau tak berfungsi sama sekali. Di beberapa tempat, tanggul penahan air kebanyakan dibuat dari tanah yang gampang jebol ketika diterjang air deras.

Ada dua penyebab buruknya infrastruktur irigasi. Pertama, sedimentasi yang tinggi akibat kerusakan tanah oleh erosi. Di berbagai DAS hulu di Jawa, kerusakan tanah oleh erosi sudah meluas. Erosi terjadi, selain karena kondisi biofisik seperti curah hujan yang bersifat orografis--makin tinggi wilayah makin tinggi curah hujannya--juga lantaran pengelolaan tanah tidak sesuai dengan kemampuannya. Dari 13,2 juta hektare luas Pulau Jawa, yang dibolehkan untuk usaha tani tanaman pangan sebenarnya hanya 1,3 juta hektare (9,7 persen), tapi kenyataannya sekarang meliputi 10,5 juta hektare (77,6 persen). Untuk tanaman industri diperkenankan 3,8 juta hektare (28,3 persen), tapi yang ada sekarang hanya 0,36 juta hektare (2,7 persen). Untuk hutan seharusnya sekitar 5,2 juta hektare (39,1 persen), tapi yang ada sekarang hanya 2,5 juta hektare (19,2 persen). Kondisi ini dicatat oleh Simbolon pada 1978. Bisa dibayangkan betapa parahnya kondisinya saat ini.

Kedua, rendahnya investasi untuk rehabilitasi dan pemeliharaan infrastruktur irigasi. Pembangunan irigasi di Indonesia sudah dilakukan sejak zaman kolonial. Di era Orde Baru, pembangunan infrastruktur irigasi berlangsung pesat pada periode 1970-1985, dan mulai mengalami perlambatan pertumbuhan investasi sesudahnya. Jika dipilah-pilah, dalam 30 tahun terakhir, pengeluaran terbesar investasi irigasi untuk pembangunan konstruksi baru (41 persen), disusul pengendalian sungai dan banjir (28 persen) serta pengembangan rawa dan pasang-surut (24 persen). Sedangkan pos rehabilitasi dan pemeliharaan infrastruktur irigasi cuma 7 persen (Sudaryanto, 2001). Itulah sebabnya, logis jika bangunan irigasi di berbagai daerah rusak kronis dan defisit air. Tanpa jaminan air irigasi yang memadai, insentif berusaha tani akan semakin merosot. Jika itu terjadi, kita semua tahu akibatnya.


Sumber : http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=6614&coid=2&caid=30&gid=2

Sosialisasi Teknologi Mekanisasi Pertanian dalam Mendukung Program SLPTT Padi, Jagung dan Kedelai

Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) adalah merupakan program nasional pemerintah Indonesia yang di lakukan oleh Departemen Pertanian. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian pangan nasional melalui usaha peningkatkan produksi pangan nasional, khususnya padi, jagung dan kedelai. Pengembangkan SLPTT dilakukan dengan memberi pengajaran pada petani mengenai pengendalian pemberian benih, pupuk, pengendalian hama terpadu, sekolah lapang iklim, dan teknologi budidaya. Seperti diketahui program SLPTT ini telah dikembangkan sejak 2008 dan akan melibatkan sekitar 60.000 kelompok tani dengan setiap kelompoknya mengelola lahan pertanian seluas 25 ha di seluruh Indonesia.

Sebagai upaya untuk mensukseskan program SLPTT tersebut, maka BBP Mekanisasi Pertanian pada tanggal 27-29 Oktober 2009 telah melaksanakan kegiatan Sosialisasi Teknologi Mekanisasi Pertanian dalam Mendukung Program SLPTT Padi, Jagung dan Kedelai, bertempat di Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Serpong. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan dan sekaligus memberikan pelatihan kepada tenaga supervisi yang berperan di lapang dalam pemanfaatan teknologi mekanisasi pertanian. Dengan kegiatan sosialisasi ini diharapkan akan mempercepat proses transfer teknologi mekanisasi pertanian dan sekaligus untuk mensukseskan program SLPTT ini.

Kegiatan sosialisasi teknologi mekanisasi pertanian ini diikuti oleh 16 orang peserta dari staf/ peneliti dari 13 BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian), yang mana merupakan kontribusi Badan Litbang Pertanian dalam program SLPTT ini. Peserta dari BPTP yang ikut dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut :

  1. BPTP Banten : 1 peserta
  2. BPTP Jawa Timur : 2 peserta
  3. BPTP Riau : 1 peserta
  4. BPTP Jawa Tengah : 2 peserta
  5. BPTP Sumatera Selatan : 1 peserta
  6. BPTP Lampung : 1 peserta
  7. BPTP Gorontalo : 1 peserta
  8. BPTP Jawa Barat : 2 peserta
  9. BPTP Bali : 1 peserta
  10. BPTP Kalimantan Selatan : 1 peserta
  11. BPTP Sulawesi Utara : 1 peserta
  12. BPTP DI Yogyakarta : 1 peserta
  13. BPTP Kalimantan Barat : 1 peserta

Materi yang diberikan dalam kegiatan ini adalah teori dan praktek pengoperasian teknologi mekanisasi pertanian, yaitu :

  1. Pengenalan teknologi mekanisasi pertanian untuk pra panen.
  2. Pengenalan teknologi mekanisasi pertanian untuk pasca panen.
  3. Pengenalan teknologi pemanfaatan energi biogas dari kotoran ternak sapi.
  4. Alat mesin pemanen padi mower
  5. Mesin Perontok Padi (Thresher)
  6. Teknologi Alat Mesin Pembuatan Pupuk Organik (APO)

alt

Perekayasa BBP Mekanisasi Pertanian sedang memberikan penjelasan tentang mesin perontok padi (Thresher)

alt

Peserta sedang mengoperasikan alat panen padi mower

alt

Peserta sedang mengamati mesin pencacah jerami padi (chopper) untuk pembuatan pupuk organik


Sumber : http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id

Selasa, November 10, 2009

Model Penerapan Paket Teknologi Biogas

Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, dengan ekspansi bidang industri menyebabkan peningkatan permintaan energi dan penurunan kualitas lingkungan. Mesipun Indonesia adalah salah satu negara penghasil minyak dan gas, namun krisis ekonomi, berkurangnya cadangan cadangan minyak dan turunnya kualitas lingkungan menyebabkan Indonesia mulai memanfaatkan sumber-sumber energi alternatif. Biogas adalah salah satu sumber energi terbarukan yang bisa menjawab kebutuhan akan energi sekaligus dapat menyediakan kebutuhan hara tanah dalam suatu sistem pertanian yang berkelanjutan. Adanya pengurangan subsidi minyak, memungkinkan teknologi ini akan dijadikan sebagai sumber energi alternatif. Teknologi ini sangat berpotensi untuk dikembangkan di daerah - daerah peternakan, mengingat saat ini kotoran hewan belum dimanfaatkan secara optimal dan dapat meminimalisir masalah lingkungan. Kegiatan ini mendukung konsep nir limbah (zero waste) di bidang pertanian dengan sasaran akhir yaitu tercapainya pembangunan pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Hasil kinerja instalasi pemroses biomasa dari kotoran sapi menjadi biogas dan pemanfaatannya untuk penerangan, kompor dan energi mekanis/ listrik (kegiatan TA 2005 dan TA 2006) menunjukkan hasil yang layak secara teknis maupun ekonomis. Pemanfaatan gas yang dihasilkan juga akan dikaji secara optimal dengan menyesuaikan potensi bahan input berdasarkan jumlah kepemilikan sapi dan pendistribusian biogas ke rumah-rumah secara efisien. Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi motor bakar yang menghasilkan energi mekanis/ listrik untuk mendukung kegiatan pertanian. Kegiatan TA 2007, memantapkan hasil rekayasa unit pemurnian gas dan pengemasan biogas dalam tabung skala kecil. Serta memanfaatkan pupuk dari effluent instalasi biogas dalam kaitannya integrasi ternak-tanaman (CLS). Kegiatan TA 2008, model penerapan paket teknologi biogas yang ideal untuk usaha peternakan dan usaha-usaha lain akan memberikan nilai tambah yang maksimal dengan integrasi ternak dan tanaman serta memanfaatkan efisien biogas yang dihasilkan. Serta, melakukan diversifikasi pemanfaatan biogas sebagai sumber energi untuk mendukung kegiatan pertanian. dan pemenuhan kebutuhan energi untuk agribisnis di pedesaan. Kegiatan scaling-up kemasan biogas dalam tabung telah dilakukan dengan hasil baik, namun masih diperlukan penelitian pemurnian secara cermat dan berulangkali dengan mempelajari SOP yang benar untuk menjamin keamanan kerja (safety).


Sumber : http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id