Kamis, Desember 15, 2011

PLUS MINUS PESTISIDA NABATI (ALAMI)

Tembakau, bahan insektisida yang ampuh.
Beberapa dekade terakhir ini, dunia pertanian diramaikan dengan program green revolution, kembali ke alam, atau organic farming. Hal ini dipicu oleh proteksi beberapa negara (terutama eropa) yang melarang produk-produk pertanian yang mengandung pestisida masuk ke negaranya. Statistik kesehatan di negara mereka telah mencatat betapa banyak pasien rumah sakit yang disebabkan oleh dampak kandungan pestisida dalam makanan yang dikonsumsi yang menyebabkan berbagai penyakit.

Atas kebijakan tersebut dan mungkin juga kesadaran beberapa produsen pertanian besar akan bahaya pencemaran pestisida dalam produknya bagi kesehatan konsumen, sistem pertanian organik mulai mendapat perhatian yang besar. Tidak tanggung-tanggung, dunia penelitian secara gencar mengembangkan produk-produk pupuk dan pestisida alami yang mempunyai efektifitas setara dengan pestisida sintetis.

Kemudian, 20 tahun terakhir ini, dunia pertanian Indonesia pun mulai ikut-ikutan. Biasalah ... walaupun terlambat dan berjalan lambat, Indonesia mulai memikirkan hal ini. berbagai penelitian pun dilakukan. Walaupun belum dapat mengembangkan teknologi canggih dalam pengembagan pestisida alami ini, dunia pertanian di Indonesia mulai "diperkenalkan kembali" pada pengendalian hama penyakit tradisional, yaitu dengan menggunakan bahan-bahan alami, seperti daun mimba, tembakau, daun sirsak, dll. (lihat kembali artikel BEBERAPA PESTISIDA NABATI POTENSIAL.


Walaupun penggunaan pestisida sintetis (kimia) dari tahun ke tahun masih tetap meningkat, program-program penyuluhan dan pelatihan petani mulai memperkenalkan pengolahan dan penggunaan pestisida alami. Hanya saja dibutuhkan bahan baku yang cukup banyak untuk membuat pestisida alami yang dibutuhkan bagi pemeliharaan tanaman dalam satuan luas tertentu. Keterbatasan bahan baku ini pula yang membuat program penyuluhan disertai dengan bantuan pengembangan bahan baku pestisida alami yang biasanya dipadukan dengan pengembangan bahan pakan ternak.

Dilain pihak, penggunaan pestisida sintetis / kimiawi, dalam kurun waktu yang lama menyebabkan keseimbangan ekologis terganggu, selain itu juga menyebabkan terjadinya revolusi genetik pada beberapa spesies hama, seperti misalnya wereng dan belalang yang semakin lama semakin tahan terhadap jenis pestisida tertentu. Kesadaran dunia terhadap dampak negatif penggunaan pestisida juga sudah semakin besar, dimana sayuran, bahan pangan, susu, dan bahkan ikan sudah banyak yang tercemar bahan kimia yang berasal dari pestisida. Umumnya dampak kesehatan yang terjadi dari konsumsi bahan tercemar ini adalah banyaknya penderita kanker dan cacat janin (Kanker vs Pestisida : http://marie-fortyfive.blog.com/), serta keracunan yang menyebabkan kematian. Walaupun korban yang meninggal langsung akibat pestisida pada umumnya para petani sendiri, akan tetapi korban tak langsung dengan jumlah yang cukup besar terjadi pada golongan konsumen.

Jenis pestisida yang paling beracun adalah yang mirip dengan gas syaraf, yaitu jenis Organofosfat dan Metilcarbamat. Pestisida jenis ini sangat berbahaya karena mereka menyerang cholinesterase, suatu bahan yang diperlukan oleh oleh sistem syaraf kita agar dapat berfungsi dengan normal. Pestisida gas syaraf menyebabkan kematian paling besar diseluruh dunia dibanding pestisida jenis lain. Contoh beberapa jenis pestisida dengan efek serupa gas syaraf yang paling berbahaya adalah:

  1. Organofosfat
  2. Metilcarbamat
  3. Azinophosmethyl
  4. Demotonmethyl
  5. Dichlorvos / DDVP
  6. Disulfoton
  7. Ethion
  8. Ethylparation / Parathion
  9. Fenamiphos
  10. Aldicarb
  11. Carbofuran
  12. Fomentanate
  13. Methomyl
  14. Oxanyl
  15. Propoxur
Lihatlah daftar di atas ! Jenis-jenis tersebut merupakan jenis-jenis yang banyak beredar di Indonesia dan bahkan menjadi jenis pestisida favorit petani kita !!

Sudah waktunya kembali ke alam.

Ingatlah bahwa jaman dahulu leluhur kita hanya menggunakan bahan alami untuk membasmi hama bahkan memupuk sekalipun. Lihatlah, hanya karena ulah segelintir pedagang yang pandai berpromosi bahwa pestisida jauh lebih ampuh untuk membasmi hama, sekarang penggunaan pestisida sudah tidak dapat dibendung lagi. Selain daya tahan hama yang semakin meningkat, hal ini juga didorong oleh tuntutan ekonomi petani yang semakin besar dimana nilai yang didapatkan petani persatuan luas budidaya semakin kecil dibandingkan kebutuhan hidupnya. Begitu pula dengan pergerakan produsen dan pedagang pestisida semakin gencar, membuat pestisida kimia semakin sulit dihindari.

Akan tetapi, walau bagaimanapun kita tetap harus berjuang untuk mengembangkan pestisida alami dengan harapan lambat-laun keseimbangan ekologis dapat tercapai kembali. Kumbang Batok, Ular, Elang, Burung Hantu dan beberapa jenis serangga predator dapat hidup berkembang kembali. Biaya produksi yang semakin meningkat mungkin dapat dijadikan alat agar petani mau memproduksi bahan pestisida alami, paling tidak dapat mengurangi volume penggunaan pestisida kimia.

Jangan Berhenti Memperkenalkan Pestisida Alami pada Petani.

Paling tidak ada 3 hal yang perlu disadari oleh petani agar mau menggunakan pestisida alami :
  1. Bahwa pestisida alami punya kemampuan yang tinggi dalam mengendalikan hama / penyakit, yang penting bahan, konsentrasi, dan cara penggunaannya benar.
  2. Bahwa pestisida alami dapat mengurangi biaya produksi, asal mau membudidayakan bahan dasarnya pestisida alami akan siap setiap saat dan tidak perlu tergantung pada ketersediaan barang di toko.
  3. Dengan menggunakan pestisida alami, mereka tidak menjadi penyebab pencemaran lingkungan, bahkan dapat membantu proses pelestarian lingkungan.
Secara umum, pestisida alami dapat dibagi dalam 3 golongan (Ir. Novizan, Pestisida Ramah Lingkungan, Agromedia Pustaka, 2002), yaitu :
  1. Pestisida botani (botanical pesticides), yaitu yang berasal dari ekstrak tanaman / tumbuhan.
  2. Pestisida biologis (biological pesticides), yaitu yang mengandung mikroorganisme pengganggu hama, seperti bakteri patogen, virus, dan jamur.
  3. Pestisida mineral organik yang berbahan dasar mineral organik yang terdapat pada kulit bumi. Contoh yang paling umum adalah belerang dan kapur yang dapat mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh jamur dan bakteri.
Keistimewaan pestisida alami dibanding pestisida kimiawi adalah :
  1. Mudah terurai oleh komponen alam lainnya sehingga efek residunya cepat menghilang.
  2. Mempunyai daya tokisisitas yang cukup tinggi, bahkan beberapa diantaranya mempunya daya racun yang lebih tinggi dibanding jenis pestisida kimia seperti nikotin (perasan tembakau).
  3. Bersifat lebih selektif. Beberapa jenis pestisida alami ini hanya efektif dalam mengendalikan beberapa jenis hama saja.
Oleh karena itu, pestisida alami juga memiliki kelemahan :
  1. Karena mudah terurai, pestisida alami membutuhkan penyimpanan yang khusus. Dalam prakteknya, pestisida alami lebih baik bila disiapkan dan digunakan hanya untuk sekali pakai saja. Cukup bahan dasarnya saja yang disiapkan dalam jumlah yang cukup.
  2. Bahan dasar harus disiapkan dalam jumlah yang cukup besar karena konsentrasi dari ekstraksi bahan ini mempunyai konsentrasi yang rendah. Selain itu, penggunaannya membutuhkan waktu yang cukup lama karena harus dibuat terlebih dahulu dan tidak bisa disiapkan dalam waktu yang terlalu lama dari waktu pemakaiannya.
  3. Tokisisitas yang cukup tinggi ini menyebabkan efek toksisitas terhadap petani pemakai dan efek kekebalan hama akan serupa dengan yang disebabkan pestisida kimia. Oleh karena itu, penggunaannya tetap harus terkontrol dengan baik dengan memperhatikan konsentrasi dan volume yang ideal bagi setiap jenis hama yang akan dikendalikan.
  4. Karena bersifat lebih selektif (spektrum rendah), para penyuluh dan pemakai harus mengenal betul masing-masing sifat penggunaan masing-masing bahan alami ini untuk menghindari kesalahpahaman terhadap efektifitas pestisida alami. (Banyak petani peserta program yang mengeluhkan hal ini, bahwa pestisida alami tidak cukup efektif dalam mengendalikan hama)
Apa Yang Harus Dilakukan ?

Menurut saya, langkah-langkah yang perlu diambil dalam mengembangkan pestisida alami ini diantaranya adalah :
  1. Secara sinambung terus mengembangkan penggunaan pestisida alami di tingkat petani, melalui penyadaran, pembantuan teknis, dan pembinaan keterampilan petani.
  2. Senantiasa menyertakan pengembangan dan pemanfaatan pestisida alami dalam setiap program pembinaan petani.
  3. Mengembangkan peneletian pengembangan bahan-bahan pestisida alami, terutama untuk skala industri dalam negeri.
  4. Mencari dukungan stake holder dalam pengembangan penelitian, produksi, dan pemakaian pestisida alami.
  5. Dukungan regulasi di tingkat kebijakan pemerintah yang akan mendukung penganggaran pengembangan pestisida alami secara efektif.
http://sukatani-banguntani.blogspot.com

PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN BERIRIGASI

Sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, pengelolaan sistem irigasi diselenggarakan melalui azas partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Apa yang dimaksud dengan poin-poin tersebut ? Inilah kira-kira yang dimaksudkan dengan kaidah pengelolaan yang diharapkan dari peraturan tersebut :
  1. Partisipatif ; sudah saatnya semua pihak, baik unsur pemerintah maupun pemanfaat jaringan irigasi (petani / P3A) memiliki dan mewujudkan azas inisiatif guna mengelola dan memelihara jaringan irigasi demi kemanfaatan yang sebesar-besarnya. Disini, pola desentralisasi sangat diharapkan terutama pada areal-areal yang merupakan kewenangan daerah (Baca Pasal 16, 17, dan 18 PP 20/2006). Petani melalui P3A dan GP3A, diharapkan memiliki inisisatif swadaya ataupun swakelola dalam melestarikan kedayagunaan jaringan irigasi, sementara pemerintah sesuai daerah kewenangannya bertanggungjawab untuk mendukung inisiatif yang muncul dari petani.
  2. Terpadu ; keterpaduan yang dimaksud bukan hanya pada proses pemeliharaan pelestarian jaringan, akan tetapi lebih diutamakan pada pemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada akhirnya mewujudkan ketahanan pangan yang solid. Disini, dituntut koordinasi dan konsolidasi program antara 4 pemangku kepentingan pembangunan lahan beririgasi, yaitu Petani (P3A), PU Pengairan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan Bappeda sebagai motor pembangunan daerah. Keterpaduan bukan hanya dari segi pemanfaatan, akan tetapi juga dari segi pembiayaan operasional dan pemeliharaan.
  3. Berwawasan lingkungan ; dimaksudkan sebagai pemenuhan azas kelestarian pemanfaatan dan kegunaan. Oleh karenanya, disini dituntut pelaksanaan program pemeliharaan yang baik dan terstruktur serta dukungan program pelestarian sumber daya air itu sendiri yang merupakan wewenang dan tanggungjawab Ditjen SDA dan Kehutanan. Dari segi teknis pemanfaatan, Dinas Pertanian dituntut pula melaksanakan sistem pertanian yang mendukung azas pelestarian lingkungan hidup seperti menerapkan sistem pertanian terpadu, integrasi tanaman dan ternak, metoda budidaya padi organik (melalui metoda SRI atau Jajar Legowo), PHT, dan lain-lain.
  4. Transparansi, akuntabel, dan berkeadilan ; poin ini merupakan hal yang gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Tidak ada kriteria yang jelas untuk memonitor realisasinya. Paling tidak kita dapat mengharapkan partisipasi masyarakat petani untuk dapat mengontrol ketiga poin tersebut. Dengan adanya peraturan ini, petani melalui organisasi P3A / GP3A dapat melakukan aksi pengawasan langsung atas proses dan pembiayaan operasi dan pemeliharaan di wilayah kewenangannya. Azas ini mensyiratkan bahwa proses pembangunan adalah milik masyarakat petani dan petani mempunyai hak untuk menentukan arah pembangunan daerahnya dan menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang dilaksanakan.
Organisasi Irigasi

P3A / GP3A
Sebagai represatsi dari petani pada lahan beririgasi, P3A/GP3A merupakan lembaga pelaksana strategis agar pemanfaatan, pengelolaan, dan pemeliharaan sarana irigasi dapat dilaksanakan demi kepentingan bersama dalam mewujudkan kesejahteraan petani. Secara teknis, lahan beririgasi harus diatur pembagiannya sesuai dengan kebutuhan / kepentingan bersama. Oleh karena itu mutlak diperlukan adanya wadah koordinasi dan komunikasi agar semua petani mendapatkan fasilitas air irigasi secara adil dan merata. Lembaga ini juga dimaksudkan sebagai jalur transfer teknologi budidaya pertanian dan program-program pembangunan dari pemerintah. Aktifitas lembaga ini mutlak harus dikembangkan sebagai penguatan (empowerment) bagi pihak petani pemanfaat. Pada pengembangannya lembaga P3A / GP3A dapat dikembangkan menjadi lembaga kooperasi sebagai wujud kemandirian usahatani dan partisipasi aktif dalam pengelolaan irigasi.

Komisi Irigasi
Komisi Irigasi merupakan gabungan pemangku kepentingan dalam pengelolaan dan pengembangan irigasi. Komisi ini dimaksudkan sebagai lembaga atau wadah koordinasi semua pihak agar penyelenggaraan irigasi dapat dilaksanakan secara terpadu, terencana, dan berkesinambungan. Komisi ini juga diharapkan menjadi lembaga yang memberikan aspirasi arah pembiayaan dan pembangunan irigasi secara proporsional, bukan hanya dalam merencanakan pembiayaan akan tetapi juga merancang suatu investasi pembangunan yang menguntungkan bagi daerah.

KPL (Kelompok Pemandu Lapangan)
Lembaga ini merupakan forum koordinasi para pendamping lapangan organik (dari unsur pemerintah), yaitu UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah), Juru Pengairan, PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan), Staf Kecamatan, dan Staf Desa. Forum ini dimaksudkan agar terbentuk suatu koordinasi pelaksanaan pendampingan secara terpadu agar fungsi penguatan dapat berjalan sesuai dengan aspirasi masyarakat petani. Program pendampingan atau pemberdayan yang selama ini berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan jalur birokrasi program tersebut, dengan adanya kelompok ini diharapkan dapat dilaksanakan secara bersama-sama saling mendukung, sehingga efektifitas dan efisiensi program dapat terwujud secara maksimal.

Pada akhirnya, kemuliaan suatu rancangan pembangunan seperti tersirat dalam PP 20 tahun 2006 ini akan kembali pada political will dari semua unsur, terutama unsur pemerintah yang selama ini belum terwujud dengan baik. Paling tidak, peraturan ini semakin membuka peluang yang lebih luas bagi proses pembangunan pertanian di lahan beririgasi.

Peraturan terkait :
  1. PP No. 20 / 2006 tentang irigasi
  2. Permen PU No. 30/PRT/M/2007, tentang Pedoman PPSIP (Pengembangan dan Pengelolaan Irigasi Partisipatif)
  3. Permen PU No. 31/PRT/M/2007, tentang Pedoman Komisi Irigasi
  4. Permen PU No. 32/PRT/M/2007, tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi
http://sukatani-banguntani.blogspot.com