Minggu, Januari 09, 2011

Kondisi Pertanian Kacau-balau

Jakarta, Kompas – Apa yang ditakuti bangsa ini benar-benar terjadi. Harga dan pemenuhan kebutuhan pokok warga yang berbasis pertanian sudah didikte bangsa lain. Ketika harga kedelai di pasar dunia naik, misalnya, Pemerintah Indonesia tak kuasa menahan laju kenaikan harga kedelai di dalam negeri.

Guru besar Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin saat dihubungi di Australia, Rabu (16/1), mengungkapkan, ketergantungan pangan bangsa ini sesungguhnya tengah berlangsung.

“Dulu pemerintah masih bisa membantah tidak ada ketergantungan pangan, tetapi kini terbuka satu per satu ketika harga kedelai di pasar dunia liar,” katanya.

Gejolak harga yang terjadi pada kedelai di pasar dunia baru permulaan saja karena sesungguhnya persoalan yang sama akan menimpa komoditas lain. Setelah harga kedelai melonjak, disusul tepung terigu. Selanjutnya kenaikan harga bungkil kedelai sebagai bahan baku pakan ternak. Padahal, industri pakan ternak memproyeksikan kebutuhan bungkil kedelai 2008 sebanyak 1,6 juta ton.

Harga bungkil kedelai per Oktober 2007 naik 50,6 persen atau Rp 4.293/kg dari harga November 2006 sebesar Rp 2.850/kg.

Naiknya harga bungkil kedelai akan mendorong kenaikan harga pakan ternak, yang pada gilirannya mendorong kenaikan harga daging ayam dan telur. Menyusul komoditas jagung yang juga bakal terus naik. Naiknya harga jagung memperparah industri peternakan. Peternakan rakyat di sektor empat dan lima menghadapi tantangan berat.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, yang juga Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, menyatakan persoalan kelangkaan kedelai terjadi karena dua faktor.

Pertama, kondisi pertanian di Indonesia memang kacau-balau karena pemerintah tidak memiliki kebijakan memadai. Kedua, ketergantungan pada impor tidak dipersiapkan dengan baik dan disesuaikan siklus kebutuhan.

“Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan terbukti tidak ada koordinasi baik di dalam kabinet,” katanya.

Penasihat Senior Pertanian dan Studi Kebijakan (CAPS) HS Dillon mengatakan, kemelut kedelai dan bahan pangan lainnya menunjukkan pemerintah tidak memiliki wawasan jangka panjang dalam kebijakan pertanian. “Pemerintah harus mengubah paradigma pertanian, ciptakan kedaulatan pangan. Jangan seolah-olah memahami masalah, tetapi masalah pertanian bertambah buruk,” kata Dillon.

Mantan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan Rizal Ramli menyatakan, kemelut perekonomian saat ini seolah mengulang krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga 1998. Ketika itu harga beras melonjak 100 persen.

Gejolak perekonomian tahun 1998 itu berdampak hilangnya kepercayaan rakyat pada pemerintah yang ditandai kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998.

Produksi terus merosot

Kegagalan pembangunan pertanian mulai tampak dari produksi kedelai yang terus merosot. Tahun 1992 produksi kedelai masih tinggi, 1,8 juta ton. Tahun 1999 merosot menjadi 608.263 ton.

Contoh lain dari rentannya ketahanan pangan bangsa Indonesia tampak pula pada tepung terigu, sayur-mayur, gula pasir, telur, daging ayam, daging sapi, susu.

Sebagai contoh, tahun 2006 harga jagung dalam negeri Rp 950 per kg di tingkat petani. Tak lama berselang harga jagung dunia naik dari 135 dollar AS per ton menjadi 270 dollar AS per ton pada posisi Oktober 2007. Akibatnya, harga jagung lokal terdongkrak menjadi Rp 2.450 per kg.

Kenaikan harga jagung mendorong kenaikan harga telur, ayam pedaging, daging sapi, dan susu. Sebab, jagung merupakan komponen utama (51,4 persen) pakan unggas dan merupakan makanan berprotein sapi perah.

Nasib minyak goreng berbeda. Meski produksi minyak sawit mentah (CPO) melimpah, pemerintah tak mampu meredam kenaikan harga minyak goreng dalam negeri yang terseret tingginya harga CPO dunia.

Gula pasir dalam negeri juga rentan. Ketika harga gula melonjak, pemerintah buru-buru mengimpor gula kasar dan rafinasi, tanpa ada kemauan keras mencukupi kebutuhan gula sendiri. Kalau soal tepung terigu tidak perlu bicara. Khusus produk makanan berbasis terigu, perut bangsa ini sudah tergadaikan.

Kalaupun dikatakan masih tersisa komoditas pertanian yang relatif stabil, barangkali hanya beras. Namun jangan salah, apabila harga minyak mentah dunia dan semua kebutuhan pokok naik, harga beras tak dapat dikendalikan. Biaya produksi akan naik.

Kondisi ketahanan pangan makin gawat ketika alih fungsi lahan pertanian tak bisa dikendalikan. Tahun 2003 sampai 2004 saja luas lahan pertanian menyusut 703.869 hektar dari 8.400.030 hektar menjadi 7.696.161 hektar. Penyusutan terjadi di lahan beririgasi teknis, setengah teknis, irigasi sederhana, tadah hujan, dan pasang surut.

Pandangan lain disampaikan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Ardiansyah Parman. Mengutip proyeksi Development Prospect Group Bank Dunia, Ardiansyah mengatakan, kenaikan harga komoditas pangan, termasuk kedelai, akan berlanjut, tetapi dengan tingkat kenaikan lebih moderat pada tahun 2008.

Menanggapi penilaian atas kegagalan pembangunan pertanian, Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan, pemerintah menyadari ketergantungan pangan yang begitu dominan tidak baik bagi ketahanan pangan.

Ditanya tentang tidak ada kemampuan meredam harga pangan dalam negeri akibat terseret harga pangan di pasar dunia, Anton justru mempertanyakan negara mana yang kuat menghadapi gejolak kenaikan harga dunia.

“Dilema yang dihadapi pertanian, keinginan untuk memberikan insentif kepada petani yang selalu dihadapkan pada rendahnya daya beli masyarakat,” katanya. (MAS/SUT/DAY/ LKT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar